KEUTAMAAN
KEJUJURAN
Definisi jujur
Etimologi
Secara etimologi, jujur merupakan
lawan kata dusta. Dalam bahasa Arab diungkapkan dengan "Ash-Shidqu"
sedangkan "Ash-Shiddiq" adalah orang yang selalu bersikap
jujur baik dalam perkataan mau pun perbuatan (4)
Allah swt. berfirman,
"..maka mereka itu akan
bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi,
para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (an-Nisa' [4]:69)
Maksud "para pecinta
kebenaran" pada ayat di atas adalah mereka yang gemar bersikap jujur,
mengakui kebenaran, atau orang yang mempraktikkan apa dikatakanya. Ada juga
yang menafsirkan bahwa mereka adalah pengikut terbaik paar nabi yang denngan segera
mengakui kebenaran knabian, seperti Abu Bakar r.a.
Terminologi
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definasi jujur secara termino;ogi,
di antara definasi jujur mengikut para ulama terebut adalah sebagai berikut.
a) Jujur adalah kata hati yang sesuai dengan yang diungkapkan.
Jika salah satu syarat itu ada yang hilang,
belum mutlak disebut jujur. (Raqib)
b) Jujur adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan, dengan kenyataan,
dengan kata lain, lawan dari bohong.(7) (Jurjani)
c) Jujur adalah kesesesuaian antara lahir dan batin, ketika keadaan
seseorang tidak didustakan dengan tindakan-tindakannya, begitu pula
sebaliknya.
d) Para ulama menjadikan ikhlas sebagai perkara yang tidak boleh luput
dan kejujuran itu sifatnya lebih umum, yakni bahwa semua orang yang jujur
sudah tentu ikhlas. tetapi tidak semua orang yang ikhlas itu jujur.
e) Imam Junaid pernah ditanya tentang makna ikhlas dan jujur,
"Apakah keduanya sama atau berbeda?' Dia menjawab, "Keduanya berbeda.
Jujur merupakan asas segala sesuatu, sedangkan ikhlas itu tidak dapat
terwujud kecuali setelah masuk dalam amal. Amal terebut pun tidak akan
diterima kecuali jika disertai jujur dan ikhlas."(8)
f) Kejujuran adalah kemurnian hati Anda, keyakinan Anda yang mantap, dan
ketulusan amal Anda. (imam Qusyairi)
Dalil tentang kejujuran
Dalam Alqur’an
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“ Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kalian beserta orang-orang yang
jujur. ” (Q.S. At Taubah: 119)
Dalam Allah swt. memerintahkan orang yang beriman untuk selalu
bersama orang-orang jujur dan Ia berjanji akan menempatkan mereka bersama para
nabi, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ
وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ
وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً وَإِيَّاكُمْ
وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي
إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً رواه مسلم .
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Bersabda Rasulullah : Kalian harus jujur karena sesungguhnya jujur itu
menunjukan kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjukkan kepada jannah.
Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi
Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena
sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan dan keburukan itu
menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk
berdusta sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta” (HR Muslim)
Shohih Muslim hadits no : 6586
Makna Secara
Umum:
Dalam hadits
ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan
maka akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta dan
berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan dan upaya untuk memperoleh, akan berlanjut
sifat-sifat baik dan buruk.
Hadits diatas menunjukkan agungnya
perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang yang jujur ke jannah
serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa
orang yang dusta ke neraka.
Faedah Yang Bisa Diambil dari
Hadits:
1.
Kejujuran termasuk akhlak terpuji
yang dianjurkan oleh Islam.
2.
Diantara petunjuk Islam hendaknya
perkataan orang sesuai dengan isi hatinya.
3.
Jujur merupakan sebaik-baik sarana
keselamatan di dunia dan akhirat.
4.
Seorang mukmin yang bersifat jujur
dicintai di sisi Allah Ta’ala dan di sisi manusia.
5.
Membimbing rekan lain bahwa jujur
itu jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
6.
Menjawab secara jujur ketika ditanya
pengajar tentang penyebab kurangnya melaksanakan kewajiban.
7.
Dusta merupakan sifat buruk yang
dilarang Islam.
8.
Wajib menasihati orang yang
mempunyai sifat dusta.
9.
Dusta merupakan jalan yang
menyampaikan ke neraka.
Kedudukan jujur
Ibnu
Qayyim berpendapat bahwa jujur adalah sifat yang membuat seseorang menjadi
terhormat. Dari sana akan muncul seluruh derajat para pencari kebenaran dan
jalan yang paling lurus. Orang yang tidak menitinya akan celaka. Kejujuran
membedakan antara orang munafik dan orang mukmin serta penduduk surga dan
penduduk neraka. Kejujuran adalah pedang Allah swt. di muka bumi. Pedang
tersebut tidak akan pernah diletakkan pada sesuatu, kecuali iamematahkannya dan
tidak akan berhadapan dengan yang batil kecuali ia akan melawan dan
menumbangkannya.
. Barang siapa naik takhta dengan jujur, dia tidak akan diturunkan. Kejujuran
dapat membungkam musuh. Kejujuran adalah ruh segenap amal, pangkat segala
seusatu, faktor yang mendorong seseorang berani menghadapi rintangan, dan pintu
masuk bagi hamba yang indin sampai ke hadirat Allah swt. Kejujuran juga
merupakan fondasi tegaknya agama dan tiang penyangga tenda keyakinan. sedangkan
kebohongan adalah dasar kemunafikan. Apabila kebohongan berkumpul dengan
keimanan, salah satunya pasti tumbang
Derajat kejujuran berada di urutan kedua setelah derajat para nabi sebagai
derajat paling tinggi. Di antara tempat-tempat tinggal
mereka di surga, akan mengalir mata air dan sungai-sungai ke tempat tinggal
orang-orang yang jujur. Kelak hati-hati mereka pun akan saling bertautan.
Allah
swt. juga mengisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim a.s., bahwaIbrahim telah
memohon kepada-Nya agar dianugerahi lisan yang jujur sebagai teladan bagi
generasi yang akan datang setelahnya. Hal
itu, Allah kisahkan di dalam firman-Nya,
"Dan jadikanlah aku buah tutur
yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian." (asy-Syu 'ara
[26]:84)
Pertentangan antara kejujuran dengan kebohongan tidak memerlukan sesuatu yang
luar biasa untuk membedakan salah satunya dengan yang lainnya, karena
pertentangan tidak terjadi di antara dua hal yang mirip sehingga salah satunya
bisa rancu dengan yang lainnya, bila kejujuran memiliki derajat-derajat
keluhuran dan kebohongan juga memiliki derajat-derajat kerendahan, maka Nabi
yang jujur adalah orang yang paling jujur, yakni kejujurannya menempati derajat
paling tinggi, sementara pengaku diri sebagai nabi pembual besar adalah orang
yang paling bohong, karena dia berbohong atas nama Allah,
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى
اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ
“Maka siapakah yang lebih zhalim
daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran
ketika datang kepadanya?” (Qs.Az-Zumar: 32),
dengan itu seorang nabi palsu
sekaligus pembual besar berada di derajat kerendahan dusta yang paling bawah,
selanjutnya tidak mungkin keadaan seorang nabi sejati dengan nabi palsu bisa samar
kecuali bagi orang-orang yang berada di tingkat kebodohan dan kedunguan paling
parah, dari sini maka kehidupan seorang nabi dan keadaannya membuktikan
kejujurannya dan menetapkan kenabiannya sekalipun tidak ada mukjizat.
Kenabian hanya diakui oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling
dusta, yang pertama tidak akan rancu dengan yang kedua kecuali bagi orang yang
paling bodoh, bahkan kehidupan masing-masing berbicara tentangnya dan
mengungkapkannya, membedakan antara si jujur dengan si dusta memiliki banyak
cara dalam masalah yang lebih rendah dari kenabian, lalu bagaimana dengan
kenabian?
Betapa bagusnya ucapan Hassan,
Seandainya tidak ada bukti yang nyata padanya
Niscaya penampilannya saja telah memberitakan padamu.
Barangsiapa
mengetahui Rasul, kejujuran, kesetiaan dan kesesuaian antara kata-kata dengan
perbuatannya niscaya dia meyakini secara pasti bahwa beliau bukan seorang
penyair dan bukan pula seorang dukun.
Manusia membedakan antara si jujur dan si dusta dengan berbagai bentuk bukti,
bahkan di bidang pekerjaan dan perkataan, seperti orang yang mengaku bisa
bertani, bisa menenun, menulis, menguasai ilmu nahwu, ilmu pengobatan, ilmu
fikih dan lainnya. Sedangkan kenabian mencakup ilmu-ilmu dan amal-amal perbuatan
yang merupakan sifat seorang rasul, ia dalam ilmu paling mulia dan perbuatan
paling luhur, lalu mana mungkin si jujur tidak bisa dibedakan dengan si dusta
dalam hal ini? Tidak disangsikan bahwa para ulama ahli tahqiq sudah menyatakan
bahwa berita satu orang, dua orang atau tiga orang bisa ditunjang oleh
indikasi-indikasi yang membuatnya mampu menetapkan ilmu yang dipastikan,
sebagaimana kerelaan seseorang, cinta, marah, bahagia, sedihnya dan perkara
lain dalam jiwanya lainnya bisa dketahui melaui aura wajahnya yang terkadang
tidak mungkin diungkapkan.
Allah berfirman,
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga
kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu
benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.”
(Qs.Muhammad: 30).
Hukum Berkata
jujur sudah jelas wajib. Baik itu dalam beribadah maupun dalam
bermu’amalah seperti jual beli. Namun ada juga kondisi tertentu dimana
seseorang diperbolehkan untuk berbohong
· Bohong yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka
mendamaikan dua orang saudaranya yang sedang bermusuhan.
· Bohong yang dilakukan suami untuk menyenangkan istrinya atau
bohong yang dilakukan istri untuk menyenangkan suaminya.
· Bohong untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang terancam.
Kisah Teladan Kejujuran
Suatu hari bocah cilik bernama Abdul Qodir Jailani berkata pada ibunya:”Ibu
ijinkan aku ke Bagdad untuk belajar dan berziarah pada orang-orang shalih. Sang
ibu terheran-heran mendengar permintaan anaknya. Sambil menangis pilu ia
berkata:”Mengapa engkau berkata begitu anakku?”. Lalu Abdul Qadir menjelaskan
keinginanya untuk menuntut ilmu.
Dengan berat hati, akhirnya sang ibu melepaskan Abdul Qadir pergi. “Hai
anakku,` berangkatlah!Engkau telah aku titipkan pada Allahu” ujarnya. Tak lupa
sang ibu memberi uang sebesar 40 dinar yang disimpan didalam saku baju.” Jangan
lupa pesan ibu. Selalulah berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan
apapun,”tambah sang ibu. Abdul Qadir pun pamit dan segera bergabung dengan
kafilah menuju bagdad.
Baru saja mereka meninggalkan kota Hamdan, tiba-tiba mereka dikepung
segerombolan perampok. Kawanan perampok itu serta merta melucuti semua harta
yang ada dalam kafilah itu. Anehnya kawanan perampok itu tidak mengusik
sedikitpun Abdul Qadir Jaelani. Hal ini membuatnya terheran-heran.
Tiba-tiba seorang perampok yang tengah melintas didepannya bertanya,”Hai orang
fakir, engkau mempunyai apa?”
“Ada uang yang terjahitdalam saku
dibawah ketiakku,” jawab Abdul Qadir.
Perampok itu mengira Abdul Qadir mengejeknya, karena itu dia segera berlalu
tanpa berbuat apa-apa. Tak lama kemudian muncul lagi perampok lainnya dan
bertanya sebagaimana perampok pertama tadi. Abdul Qadir pun menjawab
sejujurnya.
Setelah semua harta kafilah itu mereka lucuti, Kawanan membagi harta jarahan
disebuah bukit yang tak jauh dari situ.Disitu patra perampok menyampaikan apa
yang mereka lihat dari Abdul Qadir. Melihat hal itu kepala perampok merasa
heran. Lalu ia bertanya kepada Abdul Qadir,” apakah yang anda bawa?”
” 40 dinar,” jawab Abdul Qadir
“Di manakah itu?” tanyanya kemudian
” Terjahit dalam saku dibawah
ketiakku.”
Disaksikan anak buahnya, kepala perampok itu memeriks Abdul Qadir. Setelah
mendapatkan apa yang dikatakan itu benar mereka bertanya,” Mengapa engkau
mengatakan yang sebenarnya?”
” Karena ibuku berpesan supaya
selalu berkata benar dan jujur dan aku tidak menyalahi janjiku ,” jawab Abdul
Qadir jailani mantap.
Tiba-tiba pimpinan perampok itu menangis. “Engkau tidak menkhianati janjimu
pada ibumu, sedang kami telah bertahun-tahun menyalahi dan melanggar larangan
Allah. Maka sejak hari ini kami bertaubat pada Allah,”tuturnya.
Melihat tindakan pimpinannya, semua perampok itu ikut bertaubat. Mereka
berkata, “Engkau pimpinan kami dalam perampokan. Maka engkau jauga pimpinan
kami dalam bertobat.” Setelah itu mereka mengembalikan harta rampokan kepada
pemiliknya. Mereka juga berjanji tak akan mengulangi perbuatan dosa lagi.
Terbukti, buah kejujuran tak hanya melahirkan kebajikan. Kejujuran ternyata
juga mampu menerangi hati manusia yang terbelenggu dosa dan maksiat. Kejujuran
yang telah diperlihatkan Abdul Qadir Jailani mampu mengetuk pintu hati pimpinan
perampok serta anak buahnya hingga mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang
benar.
Hikmah
Bila kejujuran seperti tersebut di atas terwujud, banyak hikmah yang akan
dipetik. Pertama, jujur akan mengantarkan ke surga. Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan
mengantarkan ke surga … dan sungguh kebohongan akan mengatarkan kepada dosa,
dan dosa akan mengantarkan kepada neraka .…” (HR Bukhari-Muslim).
Berdasarkan ini, jelas bahwa tidak mungkin kebaikan akan datang jika manusia
yang berkumpul di dalamnya adalah para pembohong dan pendusta. Bila di tengah
mereka menyebar kebohongan maka otomatis dosa akan semakin merajalela. Bila
dosa merajalela maka jamainanya adalah neraka.
Kedua, jujur akan melahirkan ketenangan. Rasulullah SAW bersabda, “… maka
sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah keraguan .…” (HR
Turmidzi). Orang yang selalu jujur akan selalu tenang, sebab ia selalu membawa
kebenaran. Sebaliknya, para pembohong selalu membawa kebusukan dan kebusukan
itu membawa kegelisahan akibat kebusukannya. Ia akan selalu dihantui dengan
kebohongannya dan takut hal itu akan terbongkar. Dan, bila seorang pembohong
seperti ini menjadi pemimpin maka ia tidak akan sempat mengurus rakyatnya,
karena ia sibuk menyembunyikan kebusukan dalam dirinya.
Ketiga, jujur disukai semua manusia. Abu Sofyan pernah ditanya oleh Heraklius
mengenai dakwah Rasulullah SAW. Abu Sofyan menjelaskan bahwa di antara
dakwahnya adalah mengajak berbuat jujur. (HR Bukhari-Muslim).
Rasulullah SAW terkenal sebagai manusia yang paling jujur. Bahkan, sebelum
kedatangan Islam, beliau sudah masyhur sebagai orang yang jujur. Orang-orang
kafir Makkah pun mengakui kejujuran Rasulullah SAW, sekalipun mereka tidak beriman.
Bahkan, mereka memberi gelar al-Amin (orang yang tepercaya) kepada Rasulullah.
Selain itu, mereka juga selalu menitipkan barang berharga kepada Rasul SAW.
Keempat, jujur akan mengantarkan pelakunya pada derajat tertinggi. Rasulullah
SAW bersabda, “Siapa yang memohon dengan jujur untuk mati syahid, (maka ketika
ia wafat) ia akan tergolong syuhada sekalipun mati di atas kasurnya.” (HR
Muslim).
Dan kelima, jujur akan mengantarkan pada keberkahan. Nabi Muhammad SAW pernah
mengatakan bahwa seorang pembeli dan pedagang yang jujur dalam melakukan
transaksi perdagangannya maka ia akan diberkahi oleh Allah. Sebaliknya, jika
menipu maka Allah akan mencabut keberkahan dagangannya. (HR Bukhari Muslim). Wallahu
a’lam
Kewajipan Menutup Aurat
Ditulis oleh :
Dewasa ini kita menyaksikan ramai wanita yang telah memakai tudung di
tempat-tempat awam samada yang berjubah, berbaju kurung atau berseluar. Ini
merupakan satu fenomena yang baik jika dibandingkan dengan zaman datuk nenek
kita yang mana sukar untuk kita melihat para wanita memakai tudung. Namun
begitu, ada juga sesetengah wanita di zaman ini yang kurang mengerti apakah
pengertian sebenar menutup aurat. Sekadar memakai tudung di tempat-tempat awam
telah disangkanya menutup aurat, sedangkan menutup aurat dan hanya memakai
tudung melitupi kepala adalah dua perkara yang berbeza. Fenomena bertudung ini
akan bertambah baik sekiranya para wanita memahami pengertian aurat dan
bagaimana menutup aurat dengan sempurna serta mempraktikkannya dalam kehidupan
seharian. Artikel ini akan cuba untuk mendefinisikan apakah aurat wanita yang
sebenar dan penulis akan membawakan dalil yang menunjukkan kewajipan menutup
aurat menurut al-Quran dan Sunnah, syarat-syarat pakaian yang menutup aurat
menurut syara’ serta definisi mahram.
Kepentingan menutup aurat
Mengapa manusia perlu menutup aurat? Dan mengapa urusan berpakaian ini
tidak diserahkan kepada manusia? Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pencipta
kita, Dia lebih mengetahui perihal hambaNya lebih daripada hambaNya mengenali
dirinya sendiri. Jika urusan pakaian ini diserahkan kepada manusia, nescaya ia
boleh membawa kepada kerosakan. Kita lihatlah sendiri, sedangkan hukum pun
telah ditetapkan, ramai wanita yang hampir sahaja bertelanjang di luar sana,
apatah lagi jika hukum ini diserahkan kepada manusia. Setiap insan, baik lelaki
mahupun wanita, perlulah berpegang teguh dengan pakaian syar’ie iaitu cara
penutupan aurat yang telah ditetapkan oleh Allah. Tidak semestinya perihal
berpakaian ini termasuk urusan keduniaan, maka kita sewenang-wenangnya boleh
melanggar perintah ini. Seperti yang kita sedia maklum, Islam merupakan agama
yang meliputi urusan akhirat dan dunia. Oleh itu, ketaatan merupakan suatu
kewajipan bagi kita terhadap kedua-dua jenis urusan ini, baik ukhrawi mahupun
duniawi.
Definisi aurat
Dari segi bahasa, aurat membawa
maksud kecacatan atau keaiban pada sesuatu. Ia juga bermaksud apa jua yang
ditutupi oleh manusia kerana rasa malu
[1].
Manakala secara istilahnya, aurat bermaksud setiap anggota yang wajib ditutup
dan haram untuk dilihat
[2]. Di
sini, penulis akan membincangkan apakah anggota yang wajib ditutup oleh seorang
wanita Muslimah yang telah baligh. Apabila kita membincangkan aurat yang wajib
ditutup, ia mempunyai cabang yang banyak; aurat di hadapan mahram, aurat di
hadapan bukan mahram (
ajnabi), aurat di hadapan suami, aurat di
hadapan wanita Muslimah atau kafir. Tulisan ini secara khususnya akan
membincangkan aurat yang wajib ditutup di hadapan bukan mahram. Definisi mahram
dan penerangan lanjut mengenainya akan diterangkan kemudian di dalam penulisan ini.
Dalil wajibnya menutup aurat
Kewajipan menutup aurat telah disebut oleh Allah Ta’ala di dalam al-Quran di
beberapa tempat. Antaranya, Allah Ta’ala berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Maksudnya : Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan
janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.
Dan hendaklah mereka menutup kain tudung ke dadanya… (al-Nuur
: 31)
Allah Ta’ala juga menyebut di dalam al-Quran :
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ
جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maksudnya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tidak ingin kahwin (lagi), tiadalah dosa atas mereka
menanggalkan pakaian (pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat)
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Nuur
: 60)
Seterusnya, Allah Ta’ala juga menyebut :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Maksudnya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : “
Hendaklah mereka
menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab : 59)
Ini ialah perintah yang turun dari tujuh petala langit kepada para wanita
Muslimah supaya memelihara aurat dan kehormatan mereka. Dan hendaklah para
wanita bersegera untuk menyahut seruan Allah ini kerana ia merupakan tanda
keimanan, kehambaan serta kepatuhan kita kepadaNya. Ayat-ayat suci ini diulas
dan diperincikan dengan lebih lanjut oleh hadis-hadis Nabi
shallallahu
‘alayhi wa sallam supaya para wanita memahami bagaimanakah untuk menutup
aurat seperti yang dikehendaki oleh agama dan bukannya menutup aurat mengikut
syariat sendiri ataupun kemahuan sendiri.
Dalam masalah aurat ini, Dr. Abdul Karim Zaidan
hafizhahullah mengatakan
kaedah yang diguna pakai secara umumnya ialah : “Setiap aurat wanita wajib
ditutup dan disembunyikan dari pandangan lelaki yang bukan mahram, dan anggota
badan wanita yang bukan aurat boleh dinampakkan dan tidak perlu ditutup dari
pandangan lelaki yang bukan mahram melainkan jika ada sebab-sebab tertentu”
[3].
Apakah anggota badan wanita yang dikira aurat dan apa pula yang bukan aurat?
Majoriti para ulama’ mengatakan bahawa seluruh anggota badan wanita ialah aurat
kecuali muka dan kedua tapak tangannya. Ibn ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu
menafsirkan ‘
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’ dari
ayat 31 dalam surah al-Nuur sebagai muka dan tapak tangan
[4].
Jadi setiap wanita Muslimah yang telah baligh wajib menutup seluruh
anggota badannya dari pandangan lelaki yang bukan mahram kecuali muka dan kedua
tapak tangannya.
Dalam sebuah hadis Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha maksudnya : “Asma’ binti
Abi Bakr al-Siddiq masuk menemui Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam
dan dia memakai pakaian yang nipis, Baginda
shallallahu ‘alayhi wa sallam berpaling
daripadanya dan berkata : ‘Wahai Asma’, sekiranya seorang wanita telah
didatangi haid, anggota badannya tidak boleh diperlihatkan kecuali ini dan
ini’, Baginda
shallallahu ‘alayhi wa sallam mengisyaratkan ke mukanya
dan kedua tapak tangannya”
[5].
Syarat pakaian wanita Muslimah
Menutup aurat bukanlah juga semata-mata tidak menampakkan anggota badan
kecuali muka dan tapak tangan, tetapi syariat Islam telah menetapkan beberapa
syarat pada pakaian wanita Muslimah. Setiap syarat ini perlu dipatuhi supaya
ianya memenuhi maksud menutup aurat itu sendiri. Jika salah satu syarat ini
tidak dilaksanakan oleh seseorang wanita itu, maka ia tidak dikira sebagai
menutup aurat.
Pertama; hendaklah pakaian itu melitupi seluruh badan kecuali
anggota yang bukan aurat. Syarat ini telah dibahaskan serba-sedikit di
atas. Di sini, penulis akan menyebutkan jenis-jenis pakaian wanita yang
digunakan untuk menutup aurat.
1)
Khimar (tudung).
Perkataan
khimar ini ada disebutkan di dalam al-Quran dalam surah
al-Nur ayat 31. Allah Ta’ala berfirman : وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ.
Khimar bermaksud kain yang digunakan untuk menutup
kepala. Disebutkan di dalam tafsir al-Qurtubi bahawa sebab ayat ini turun
adalah kerana wanita pada masa itu memakai tudung dengan mengikatnya dan
melabuhkannya ke belakang, oleh itu ia menampakkan leher dan telinga. Kemudian
Allah memerintahkan supaya tudung tersebut dilabuhkan ke atas tempat potongan
leher supaya ia menutup dada mereka
[6]. Oleh
itu, dari ayat ini serta sebab turunnya ayat ini, jelaslah seorang wanita
Muslimah itu mesti memakai tudung dengan sempurna dengan tidak menampakkan
leher, telinga dan dada.
2)
Jilbab. Perkataan
jilbab disebut di dalam al-Quran dalam surah al-Ahzab ayat 59. Allah Ta’ala
berfirman : يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا. Ibn al-‘Arabi
rahimahullah berkata mengenai tafsir ayat di
atas : ‘Manusia berselisih pendapat mengenai makna ‘jilbab’ dengan lafaz yang
saling menghampiri maknanya antara satu sama lain. Secara umumnya, ia adalah
baju yang dipakai untuk menutup seluruh anggota badan’
[7].
Jilbab atau dalam erti kata lainnya, pakaian yang menutup aurat wanita itu
wajib dipakai ketika keluar dari rumah supaya aurat wanita terlindung dari
pandangan lelaki ajnabi. Selain itu, ia juga wajib dipakai walaupun di dalam
rumah sekiranya ada lelaki yang bukan mahram. Ini adalah satu perkara yang
sering disalah fahami oleh wanita zaman sekarang. Mereka beranggapan bahawa
menutup aurat itu hanya apabila keluar dari rumah sedangkan aurat itu perlu
ditutup dari terlihat oleh lelaki yang bukan mahram, tidak kiralah walau di
mana jua pun tempatnya.
Kita telah mengetahui bahawa wanita wajib menutup seluruh anggota badannya
kecuali muka dan tapak tangan, adakah ini bermakna panjang kain wanita itu
tiada hadnya dan dia boleh melabuhkannya sesuka hati? Kita lihat suatu hadis
yang berbunyi : ‘Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha isteri Nabi
shallallahu
‘alayhi wa sallam berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika
Baginda menyebut mengenai kain sarung (larangan melabuhkannya bagi lelaki) :
Bagaimana pula dengan wanita wahai Rasulullah? Baginda berkata : Labuhkanlah ia
sejengkal. Ummu Salamah berkata : Jadi akan terlihatlah kaki kami. Baginda
berkata lagi :
Labuhkanlah sehasta dan tidak boleh lebih dari itu’
[8].
Maksud hadis ini ialah wanita boleh melabuhkan kainnya dengan kadar sehasta
dari paras tengah betis dan tidak boleh lebih dari itu kerana hadis ini telah
jelas melarangnya. Pada zaman Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam, para
wanita melabuhkan kain untuk menutup kedua kakinya.
Kedua; hendaklah pakaian itu tebal dan tidak nipis. Nabi
shallallahu
‘alayhi wa sallam berkata : ‘Dua golongan dari
ahli neraka yang tidak pernah aku lihat : satu kaum yang mempunyai cemeti
seperti ekor lembu, mereka memukul manusia dengannya, dan
wanita yang
berpakaian tetapi bertelanjang, mereka jauh dari ketaatan kepada Allah
serta mengajar yang lain tentang perbuatan mereka (tidak menutup aurat), kepala
mereka seperti bonggol unta, mereka ini tidak masuk syurga dan tidak mencium
bau syurga sedangkan bau syurga itu dapat dihidu dari jarak ini dan ini’
[9].
Hadis ini menunjukkan bahawa haramnya bagi seorang wanita untuk memakai pakaian
yang nipis yang menampakkan warna kulit. Ibn Abd al-Barr berkata : ‘Nabi
shallallahu
‘alayhi wa sallam memaksudkan wanita yang memakai pakaian yang nipis yang
menyifatkan badan mereka serta tidak menutupinya, mereka ini secara namanya berpakaian
tetapi pada hakikatnya bertelanjang’
[10].
Ketiga; hendaklah pakaian itu longgar dan tidak ketat. Pakaian
yang ketat dan menampakkan susuk tubuh wanita tidak memenuhi maksud menutup
aurat kerana ia boleh membangkitkan syahwat dan mendatangkan fitnah serta
kerosakan. Pakaian yang ketat tetap dilarang walaupun ianya tebal dan tidak
nipis. Dalam sebuah hadis dari Ibn Usamah bin Zaid dari bapanya, beliau berkata
: ‘Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam memakaikan aku
qubtiyyah
(sejenis pakaian dari Mesir yang nipis berwarna putih)
yang
tebal, yang dihadiahkan oleh Dihyah al-Kalbi. Lalu aku memakaikannya pada
isteriku. Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata kepadaku :
‘Mengapa kamu tidak memakai
qubtiyyah?’ Aku berkata : ‘Wahai
Rasulullah, aku telah memakaikannya pada isteriku’. Baginda
shallallahu
‘alayhi wa sallam berkata : ‘Pergilah kepadanya dan suruhlah dia memakai
ghilalah[11]
di bawahnya, sesungguhnya aku takut ia akan menampakkan susuk tubuhnya’
[12].
Apakah faedahnya memakai pakaian lain di dalam sedangkan baju tersebut adalah
tebal? Ini kerana ada baju yang boleh menampakkan susuk tubuh walaupun ia tebal
kerana tekstur baju tersebut yang lembut dan licin. Maka oleh itu, wanita
perlulah memakai pakaian lain di dalamnya supaya tidak menampakkan lekuk tubuh.
Begitu juga jika pada asalnya baju tersebut memang ternyata ketat dan mengikut
bentuk tubuh badan, maka ia juga tidak memenuhi syarat menutup aurat dan
seorang wanita Muslimah tidak boleh berpakaian sedemikian rupa.
Keempat; pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian lelaki. Ibn
‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu berkata : ‘Rasulullah
shallallahu
‘alayhi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai lelaki’
[13].
Apabila dalam suatu hadis menyebut perkataan ‘laknat’, ini membawa maksud
bahawa perbuatan itu merupakan suatu dosa yang besar. Terdapat banyak lagi
hadis yang melarang lelaki menyerupai wanita dan wanita menyerupai lelaki. Ibn
Hajar
rahimahullah menjelaskan bahawa perkara yang dilarang serupa
antara lelaki dan wanita ialah pakaian, perhiasan, cara bercakap dan cara
berjalan
[14].
Definisi mahram
Adalah amat penting bagi para wanita unt
2uk mengetahui siapakah mahram mereka supaya mereka dapat menjaga
aurat dari terlihat oleh orang yang tidak sepatutnya. Mahram ialah lelaki yang
haram dikahwini oleh seseorang wanita buat selama-lamanya contohnya bapa kepada
si perempuan. ‘Kemahraman’ seseorang itu boleh terjadi sebab nasab (keturunan),
penyusuan atau
al-mushoharah (disebabkan oleh perkahwinan).
Mahram dari sebab keturunan disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat 31 surah
al-Nur. Mereka ialah :
- Bapa;
iaitu bapa dan ke atas (datuk, moyang dan seterusnya) kepada si perempuan,
samada dari sebelah bapa atau ibunya.
- Anak
lelaki; iaitu anak kepada si perempuan. Termasuk di dalamnya ialah anak
lelaki kepada anak (cucu) dan ke bawah, samada daripada anak lelaki atau
perempuan.
- Adik-beradik
lelaki; samada daripada yang seibu dan sebapa, atau seibu sahaja atau
sebapa sahaja.
- Anak
lelaki kepada adik-beradik lelaki dan ke bawah.
- Anak
lelaki kepada adik-beradik perempuan dan ke bawah.
- Bapa
saudara dari sebelah ibu dan bapa; mereka adalah mahram yang disebabkan
keturunan walaupun tidak disebutkan dalam ayat 31 surah al-Nur. Ini kerana
mereka menduduki tempat ibubapa. Bapa saudara turut dipanggil bapa; ini direkodkan
dalam al-Quran dalam surah al-Baqarah ayat 133, apabila anak-anak Nabi
Yaakob ‘alayhis-salam berkata : ‘Kami
(akan) menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapa-bapamu (iaitu) Ibrahim, Isma’il
dan Ishaq..’. Nabi Isma’il ‘alayhis-salam
adalah bapa saudara kepada anak-anak Nabi Yaakob ‘alayhis-salam.
Manakala mahram yang disebabkan oleh penyusuan pula disebut dalam suatu
hadis dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha beliau berkata : Selepas
turunnya ayat hijab, Aflah, saudara kepada Abu Qu’ais, meminta izin daripadaku
untuk masuk, aku berkata : Aku tidak akan benarkan sehinggalah aku minta izin
daripada Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam, ini kerana bukan
Abu Qu’ais yang menyusukan aku tetapi isterinya yang telah menyusukan aku.
Kemudian Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam masuk kepadaku, lalu aku
berkata kepada Baginda : Aflah, saudara Abu Qu’ais meminta izin kepadaku tetapi
aku tidak benarkan sehinggalah aku meminta izin darimu. Lalu berkata Nabi
shallallahu
‘alayhi wa sallam : ‘Apa yang menghalang engkau untuk membenarkan bapa
saudaramu masuk kepadamu?’ Aku berkata
: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya bukan lelaki itu yang menyusukan aku tetapi isteri Abu Qu’ais yang
menyusukan aku. Baginda
shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata :
‘Izinkanlah dia, sesungguhnya dia adalah bapa saudaramu’. Berkata ‘Urwah : Oleh
itu, ‘Aisyah mengatakan apa yang haram disebabkan keturunan itu adalah haram
juga disebabkan penyusuan
[15].
Dan mahram yang disebabkan oleh
mushoharah bermaksud mahram yang
disebabkan oleh perkahwinan. Contohnya, bapa kepada si suami (bapa mertua)
menjadi mahram dan haram berkahwin dengannya selama-lamanya walaupun perempuan
tadi telah bercerai dengan suaminya. Begitu juga anak lelaki kepada si suami
yang datang daripada isterinya yang lain juga menjadi mahram kepada perempuan
tadi. Dan suaminya juga menjadi mahram kepada ibu perempuan.
Inilah serba-sedikit perincian mengenai hukum-hakam dalam menutup aurat.
Semoga para wanita Muslimah dapat memahami apakah tuntutan syara’ yang sebenar
dalam kewajipan mereka untuk menutup aurat dan semoga setiap butir ilmu ini
dijadikan amalan dan praktikal dalam kehidupan seharian. Allahu’alam.